Menjadi pendidik itu ternyata susah

Saya pikir menjadi seorang guru merupakan hal yang cukup menyenangkan karena setiap hari dapat bertemu dengan murid-murid dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Tapi setelah saya coba sendiri dengan menjadi guru kecil-kecilan, ternyata tidak semudah dan semenyenangkan yang dibayangkan. Lulus SMA saya mencoba untuk menjadi guru les di rumah saya sendiri, walaupun sekarang saya kuliah di jurusan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia ngajar-mengajar yakni informatika. Saya buka usaha les tersebut di rumah bermodal plank bertuliskan les matematika SD – SMA. Usaha tersebut dimulai dari nol dengan bentuk pemasaran berupa pamflet yang saya bagikan ke sekolah-sekolah terdekat, namun tentunya harus ada modal utama selain itu semua yakni modal pikiran. 

Saya nekad mengambil langkah tersebut persis setelah lulus dari SMA dan mendapat perguruan tinggi. Bisa dibilang kedekatan saya dengan ilmu matematika memang lumayan cukup baik saat berada di bangku sekolah. Saat SMP, saya lulus ujian matematika dengan nilai 10. Sedangkan lulus SMA, saya memperoleh nilai 9.5 juga pada bidang pelajaran yang sama. Masuk perguruan tinggi pun saya tidak mengambil jalur SNMPTN melainkan jalur undangan karena nilai rapor yang baik. Jika diuji, bisa dibilang saya sudah cukup mahir dalam menyelesaikan beberapa tipe-tipe soal matematika. Wah, kok jadi promosi nih, hehe. Namun kira-kira itulah alasan sederhana yang membuat saya akhirnya berani terjun dengan menggeluti profesi baru sebagai seorang freelancer guru les dengan tanpa banyak modal. 

Dan singkat cerita, lambat laun promosi les pun membuahkan hasil sedikit demi sedikit. Mulai banyak yang berdatangan ke rumah, mulai hanya sekedar bertanya-tanya hingga langsung memutuskan untuk mendaftarkan anaknya les. Penjaja les pertamaku berasal dari ibu-ibu yang pada awalnya datang untuk bertanya. Keesokan harinya, ia datang lagi dan jadi mendaftarkan anak-anaknya untuk les. Saya bilang ‘anak-anaknya’ sebab beliau menitipkan dua orang anaknya dan perempuan semua, yang satu anak SMP dan yang satu lagi masih SD. Perasaanku cukup senang kala itu, biaya les untuk dua orang anak menembus 180 ribu setiap bulannya. Dan akhirnya tiba juga waktu untuk memberikan tambahan pelajaran kepada dua anak itu. Mereka adalah anak-anak yang pendiam dan penurut. Aku pun mengajari keduanya dengan sabar, jika ada materi yang belum paham saya ulang-ulang terus hingga mereka paham sebab yang kupentingkan disini adalah pemahaman tentang materinya. Saya juga melatih mereka dengan soal-soal mulai dari tingkat rendah hingga atas sebab seseorang tidak akan mungkin bisa mahir dan ahli matematika tanpa adanya latihan soal yang terus-menerus dengan tingkat kesulitan yang beragam. Hari demi hari berganti, aku mulai dapat menyesuaikan diri sebagai pengajar. Murid-muridku pun bermacam-macam, ada yang kelas 5 SD, kelas 7 SMP, sampai kelas 9 SMP. Semua peserta didik datang ke rumahku saat les, karena memang aku tidak membuka les privat yang langsung mengajar di rumah murid. Aku pun bisa sedikit longgar dalam mengajar dan tidak terburu-buru dikejar oleh waktu seperti jika membuka usaha les privat. Namun lambat laun cukup kewalahan juga mengajar satu demi satu siswa walau di rumah sendiri. Bayangkan, hanya dengan sekitar lima orang siswa saja jadwal lesku sudah full setiap harinya sehingga menutup peluang bagi datangnya murid-murid baru. Anggaplah saja muridku sekarang berjumlah 5 orang siswa. Dalam seminggu terdapat 2 x pertemuan sesuai mekanisme les pada umumnya. Sekali pertemuan saya tetapkan durasinya 90 menit / 1,5 jam seperti les-les pada umumnya. Untuk waktu les sendiri dilakukan sehabis ashar sebab paginya saya masih harus kuliah. Agar waktu dalam seminggu efektif, maka saya putuskan untuk mengajar 2 orang murid dalam sehari dengan rincian pukul 15.30 – 17.00 untuk murid pertama sedangkan pukul 17.00 – 18.30 untuk murid kedua. Setelah selesai mengajar, malamnya saya masih harus mempelajari mata kuliah yang akan diajarkan besok dan juga mempersiapkan materi les. Saya ikhlaskan diri saya untuk menjalani rutinitas tersebut, namun semakin lama rasa lelah dan bosan mulai timbul juga. 

Ternyata menjadi seorang tenaga pendidik itu tidaklah mudah. Harus memiliki kesabaran lebih dalam mengajar, selain itu juga harus memberi contoh yang baik kepada siswa agar dapat ditiru dan dijadikan contoh. Belum lagi jika harus menghadapi watak murid yang berbeda-beda. Ada yang bandel, susah dibilangin, malas-malasan, dan ada juga yang kurang memperhatikan. Untuk yang satu itu, saya mengatasinya dengan memberi ketegasan kepada murid-murid tersebut setiap kali mereka berbuat kesalahan agar murid dapat segera sadar akan kesalahannya dan dapat kembali berkonsentrasi belajar. Terkadang pemberian motivasi kepada murid juga diperlukan, dalam hal menyikapi tantangan dunia yang semakin hari semakin keras saja, agar mental generasi penerus bangsa dapat terbentuk dengan baik dengan tidak mudah menyerah dan lebih mengutamakan kerja keras dalam menyambut masa depan yang lebih baik. Saya harus tetap berjuang dalam membagi waktu saya agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Dan kepada para pendidik, janganlah cepat berputus asa dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan profesi kalian. Ikhlaskan jiwa kalian dalam berbagi ilmu kepada generasi penerus bangsa yang nantinya akan memimpin berbagai sektor negeri ini. Dan semoga dunia kependidikan Indonesia dapat terus maju dan dapat menginspirasi banyak pihak demi menyambut hari esok yang lebih baik. Amin.



1 komentar:

Unknown mengatakan...

yang penting ikhlas mengajar

Posting Komentar

Free Blooming Pink Rose Cursors at www.totallyfreecursors.com